Kunjungan Syekh Dr. Muhammad Bin Ali Ba'athiyah Hafidzulloh
Rektor Universitas Al Imam Syafi'i Mukalla Hadromaut Yaman
di Pondok Pesantren Nurul Islam Al Muniri
Kendal/Sumbertlaseh Dander Bojonegoro
Alhamdulillah tepatnya pada Hari Senin 20 Agustus 2018, Pondok Pesantren kita kedatangan tamu dari negara YAMAN Yaitu Asy-Syaikh Muhammad bin Ali Ba’athiyyah hafizhahullah ( Rektor Universitas Al Imam Syafi'i Mukalla Hadromaut Yaman ) semoga kedatanganya membawa berkah untuk Pondok Pesantren Nurul Islam Al Muniri Tercinta Ini
Asy-Syaikh Muhammad bin Ali Ba’athiyyah hafizhahullah adalah seorang ulama berkebangsaan Hadhramaut, Yaman. Beliau adalah seorang pakar fiqih madzhab asy-Syafi’i dan sekarang menjadi rektor Universitas al-Imam asy-Syafi’I di Mukalla, Hadhramaut, Yaman.
Kelahiran Beliau
Beliau lahir pada bulan Rabiul Awwal tahun 1380 H atau 1960 M di desa Qam Ba Hakim, Wadi Du’an al-Ayman, Hadhramaut, Yaman. Ayahandanya berasal dari desa Khudaisi, Wadi Du’an al-Ayman. Dikisahkan sekitar sebulan sebelum asy-Syaikh Muhammad bin Ali Ba’athiyyah hafizhahullah lahir, pintu rumah ayahandanya diketuk sejumlah orang yang dikenal kebaikannya. Mereka berkata, “Selamat dengan Muhammad yang datang.” Maka ayahanda beliau berkata kepada mereka, “Istriku belum melahirkan.” Mereka tersenyum kemudian pergi. Mungkin inilah yang menjadi pendorong sang ayah memberikan nama “Muhammad”.
asy-Syaikh Muhammad bin Ali Ba’athiyyah hafizhahullah adalah seseorang berdarah Yaman dimana penduduk negeri Yaman sangat terkenal akan kelembutan hatinya dan kepandaiannya dalam fiqih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda mengenai penduduk Yaman:
أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ هُمْ أَرَقُّ أَفْئِدَةً وَأَلْيَنُ قُلُوبًا الإِيمَانُ يَمَانٍ (وَالْفِقْهُ يَمَانٍ) وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ .
“Telah datang kepada kalian orang-orang Yaman, mereka yang paling lembut hatinya dan paling halus jiwanya. Iman itu Yaman, fiqih itu Yaman dan hikmah itu Yaman.”[1]
Masa Kecil
Di masa kanak-kanak, perkembangan asy-Syaikh Muhammad bin Ali Ba’athiyyah hafizhahullah jauh dari perkembangan teman-teman sebayanya. Ketika usianya mencapai usia tamyiz, ayahnya pergi melakukan perjalanan, sehingga ia kemudian diasuh oleh ibundanya.
Sebelum berusia enam tahun, ia dibawa sang ibu ke Ma‘lamah al-Qarn. Di sana ia belajar membaca, menulis, dan al-Qur’an. Di usia sangat belia itu, ikatannya dengan ahlul bait telah sangat kuat, karena di desanya tinggal seorang quthb yang bersinar, al-Habib Shalih bin Abdullah al-Atthas, dan dua orang saudaranya, al-Habib Muhammad dan Habib Aqil. Syaikh Muhammad kecil selalu pergi ke tempat beliau dan duduk di sisinya satu atau dua jam untuk mendapatkan keberkahan dan doanya. Habib Shalih pun sangat mencintainya. Hal ini menumbuhkan dalam hatinya rasa cinta kepada ahlul bait sejak usia sangat muda.
Sejak kecil hatinya juga telah sangat terkait dengan rumah-rumah Allah. Di usia tujuh hingga delapan tahun, ia senantiasa pergi ke masjid. Saat itu pula ia mulai memasuki madrasah Ba Shadiq al-Jufri di Khuraibah, di sana terdapat seorang faqih dan keberkahan kota Du‘an, yakni al-Habib Hamid bin Abdul Hadi al-Jilani, ayahanda al-Habib Umar al-Jilani, yang kini sering berkunjung ke Indonesia. Ia tinggal di sana selama satu tahun, kemudian pindah ke madrasah-madrasah formal dan menimba ilmu di sana.
Guru-Guru Beliau
Pada tahun 1390 H atau 1970 M, saat usianya 10 tahun, sang ayah membawa mereka sekeluarga ke Hijaz. Maka sampailah ia dan keluarganya ke Jeddah di akhir bulan Dzulhijjah. Ia melanjutkan pendidikannya di madrasah-madrasah di kota ini hingga menyelesaikan pendidikan tingginya.
asy-Syaikh Muhammad bin Ali Ba’athiyyah hafizhahullah mengambil ilmu dari banyak ulama terkemuka. Di antara mereka adalah al-Habib Shalih bin Abdullah al-Atthas rahimahullah. Sejak muda ia telah sangat dekat dengannya dan sangat mencintainya. Di antara gurunya juga adalah al-Habib Abdullah al-Habsyi rahimahullah. Beliaulah guru pertamanya setelah kepindahannya ke Jeddah. Kepadanya ia membaca kitab-kitab fiqih Safinah an-Najah dan Kifayah al-Akhyar. Sedangkan kitab nahwu yang dibacanya kepada beliau adalah al-Kawakib ad-Durriyyah. Ia juga menghadiri pengajian yang beliau sampaikan di masjid dengan pegangan kitab al-Idhah, karya Imam an-Nawawi rahimahullah.
Di masa itu asy-Syaikh Muhammad bin Ali Ba’athiyyah hafizhahullah juga berhubungan dengan seorang asy-Syaikh terkemuka, asy-Syaikh Karamah Suhail rahimahullah. Kepadanya ia membaca kitab Safinah an-Najah dan syarahnya Nail ar-Raja’ sebanyak tiga kali. asy-Syaikh Karamah Suhail rahimahullah berkata kepadanya, “Kami membacakan kepadamu kitab-kitab ini, tetapi syarah yang kami berikan kepadamu adalah syarah-syarah kitab al-Minhaj.” Kemudian beliau membaca kepadanya pembukaan kitab al-Minhaj. Setelah itu sang guru menyuruhnya untuk membaca kitab ‘Umdatus Salik.
Di antara gurunya juga seorang asy-Syaikh yang mencintai ahlul bait, asy-Syaikh Muhammad bin Umar Bakhubairah rahimahullah. Gurunya ini sangat mencintainya. Kepadanya asy-Syaikh Muhammad bin Ali Ba’athiyyah hafizhahullah membaca kitab Bidayah al-Hidayah karya Imam al-Ghazali rahimahullah dan mendapatkan ijazah darinya.
Gurunya yang lain adalah seorang yang sangat tawadhu‘, al-Habib Abdurrahman bin Ahmad al-Kaf rahimahullah. asy-Syaikh Muhammad bin Ali Ba’athiyyah hafizhahullah sangat sering menyertainya, terutama di masa Krisis Teluk. Kepadanya ia membaca kitab Dhau’u al-Mishbah Syarh Zaitunah al-Ilqah. Juga membaca sebagian dari kitab al-Minhaj. Lalu kitab Sullam at-Taysir, sebelum kitab itu diterbitkan.
asy-Syaikh Muhammad bin Ali Ba’athiyyah hafizhahullah juga berguru kepada al-Habib Abu Bakar Attas bin Abdullah al-Habsyi rahimahullah. Ia membaca kitab Riyadh ash-Shalihin dan mendapatkan ijazah darinya. Ia pun belajar kepada al-Habib Ahmad bin Alwi al-Habsyi rahimahullah dan membaca kitab fiqih dan nahwu kepadanya. Masih banyak lagi gurunya yang lain, baik dari kalangan habaib maupun yang lainnya.
Sebagaimana ia menuntut ilmu sejak kecil dengan penuh semangat dan kesungguhan, demikian pula halnya dalam mengajar. Sebelum mencapai usia dua puluh tahun, ia telah mengajar di masjid-masjid mengenai ilmu tajwid, hadits, fiqih, faraidh, nahwu, dan ilmu kalam. Dan ini terus berlangsung hingga sekarang, atas perintah para gurunya. Ratusan orang telah belajar kepadanya mengenai al-Qur’an dan ilmu-ilmu syari’at. Sebagian di antara mereka telah hafal al-Qur’an. Sebagian lagi ada yang kemudian mengkhususkan diri dalam mendalami ilmu-ilmu syari’at dan ilmu-ilmu lainnya.
Akidah Beliau
asy-Syaikh Muhammad bin Ali Ba’athiyyah hafizhahullah adalah seorang yang berakidah Asy’ariyyah. Asy’ariyyah adalah kelompok yang menyandarkan pemikiran theologinya kepada Imam Abu Hasan al-Asy’ari rahimahullah. al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari rahimahullah sendiri telah melewati tiga fase pemikiran theologi dalam hidupnya. Secara ringkas adalah fase Muktazilah kemudian mengikuti Ibnu Kilab kemudian mengikuti Ahlus Sunnah pimpinannya al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari rahimahullah telah menegaskan sikap yang terakhir ini dalam kitabnya yang tiga yaitu Risalah kepada penduduk Tsar, Maqalat Islamiyah dan al-Ibanah. Barangsiapa yang mengikuti al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari rahimahullah dengan fase ini, maka dia sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam banyak pernyataan. Barangsiapa yang komitmen dengan fase kedua, maka dia telah menyalahi al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari rahimahullah itu sendiri. Dan menyalahi Ahlus Sunnah dalam banyak pernyataannya.
asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan:
والمتأخرون الذين ينتسبون إلى أبي الحسن الأشعري ، أخذوا بالمرحلة الثانية من مراحل عقيدته ، والتزموا طريق التأويل في عامة الصفات ، ولم يثبتوا إلا الصفات السبع المذكورة في هذا البيت : حي عليم قدير والكلام له إرادة وكذا السمع والبصر على خلاف بينهم وبين أهل السنة في كيفية إثباتها .
“Ulama muta’akhirin yang menyandarkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari mengambil pada fase ke dua diantara fase akidahnya. Dan mereka konsisten dengan jalan takwil dalam kebanyakan sifat (Allah). Mereka tidak menetapkan kecuali tujuh sifat yang disebutkan dalam syair ini: ‘Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Mampu, Berbicara, dan Dia berkehendak, begitu juga Mendengar dan melihat.’ Sesuai dengan perbedaan diantara mereka dengan Ahlus Sunnah dalam cara menetapkannya.”[2]
Karena hal ini, maka dalam mengambil ilmu dari asy-Syaikh Muhammad bin Ali Ba’athiyyah hafizhahullah beliau yang berakidah Asy’ariyyah maka perlu diperhatikan dan dipilah mana yang sesuai dengan Ahlus Sunnah dan mana yang menyimpang dari Ahlus Sunnah khususnya dalam masalah ilmu ushul dan akidah. Demikianlah biografi ringkas dari asy-Syaikh Muhammad bin Ali Ba’athiyyah hafizhahullah. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjaga beliau serta memberikan beliau hidayah sunnah.
alhamdulillah
BalasHapus